Opini

Biru Baru Seru (*)


Ada satu hal menarik dalam kehidupan kampus biru ITS. Bagi setiap angkatan matang (lebih enak didengar daripada “tua”), tahun ajaran baru selalu ditandai dengan datangnya nyamuk-nyamuk yang mulai rajin menyerang kos, seiring hadirnya wajah-wajah baru di kos, hingga mungkin (ini yang celaka) penerapan tarif baru dalam kos tersebut.

Bagi mereka yang telah tiga tahun menghela nafas di bumi perjuangan ini, tidak ada yang lebih penting daripada menghitung jumlah SKS lulus, mengincar dosen pembimbing, hingga petualangan menggapai topik Tugas Akhir (TA).

Satu lagi fenomena uniknya, semakin tinggi tahun angkatan, akan semakin tinggi pula letak ruangannya. Saya lebih suka menyebut mereka sebagai “kaum khayangan” karena praktis “daerah kekuasaan” mereka ada di lab yang notabene kebanyakan ada di lantai atas. Bahkan semakin tinggi tahun angkatan, semakin tinggi pula jam terbang mereka hidup di kampus, ekstrimnya: memindahkan kamar kos ke lab.

Anehnya ini berbanding lurus dengan tingkat kecuekan mereka terhadap pergolakan kampus atau dalam bahasa ormawa disebut “dinamisasi kampus”. Entah apa sebab, ataukah mungkin orang-orang khayangan ini terlampaui suci hingga pantang baginya berkecimpung di “dunia bawah” demi ikut menjadi pelaku pergerakan, perubahan, atau apapun itu yang menyangkut dengan “apa khabar kampus?”.

“Memberi kesempatan bagi yang muda agar berkarya” menjadi tersangka dari sikap yang mereka ambil. Namun ketika terjadi sesuatu yang mereka anggap tidak sesuai dengan “hukum adat”, bahkan menurut mereka “harusnya tidak begini”, mereka baru mau turun dari khayangan bak Kaisar Langit yang hadir menjalankan peran “pembenaran, pencerahan, dan pembelajaran”, yang ironisnya sering disebut “penghancuran dan penentangan” oleh kalangan “pelaku dunia bawah”.

Lain khayangan lain pula dunia bawah. Mereka akan terbagi ke dalam tiga kelompok besar, yang secara kebetulan terpartisi sesuai usia mereka di kampus ini.

Golongan pertama adalah mereka yang sedang menduduki singgasana tampuk kepemimpinan. Memang yang ada di himpunan, BEM Fakultas, BEM ITS, maupun ormawa lain, tidak semua orang dalam satu angkatan, namun sebagai penyandang predikat “mahasiswa tahun ketiga”, golongan ini sangat berpengaruh dalam segala hal yang berbau “apa khabar kampus?”.
Sebagai contoh, selain jajaran strategis di Ormawa, golongan ini juga yang memegang peran penting dalam bidang-bidang seperti prestasi, keilmiahan, minat bakat, kepemimpinan, bahkan hingga hal fundamental sekelas kaderisasi. Meskipun bayang-bayang kaum khayangan sangat kuat, tapi faktanya, angkatan mereka adalah pemangku kebijakan yang sah.

Golongan kedua adalah mereka yang sedang dalam tahap pencarian dan pembentukan karakter diri. Mereka mulai mencari-cari arah, passion, hingga tempat sebagai media aktualisasi diri. Wajar. Karena mereka telah mengenyam ilmu selama setahun di kampus ini. Bedanya, setahun yang lalu mereka mendapat ilmu sekunder karena diturunkan dari kakak-kakak kelas mereka, kini mereka sedang mencari ilmu primer yang berbasis pada pengalaman riil. Disebut tahap pembentukan karena dari sini mereka mulai menemukan jati diri di sebelah mana mereka akan berkarya dan mulai membentuk diri menuju ke sana.

Golongan ketiga adalah mereka yang benar-benar buta. Benar-benar suci. Benar-benar butuh bimbingan. Indonesia menyebut mereka sebagai maba. Dimana di fase ini butuh sekali pengenalan tentang apa itu mahasiswa, apa itu karya untuk Indonesia, apa itu ITS, apa itu Fakultas X, bahkan apa itu jurusan X.

Tanpa alasan yang jelas, seakan golongan pertama dan kedua begitu mengalir setia memberikan kepada mereka segala hal yang harus mereka tahu dan harus mereka kuasai sebagai modal awal menapaki kehidupan kampus di tahun-tahun selanjutnya. Bisa jadi ini adalah bentuk terima kasih yang diwujudkan dengan membantu adik-adik mereka. 
Sedangkan kaum khayangan? Akan tetap memantau "dari atas" apa yang sedang dilakukan oleh para "penghuni dunia bawah". Sembari mengatur strategi dan sesekali "turun menginspeksi".

Fenomena ini biasa. Sangat wajar. Terlalu standar. Bahkan nyaris tak bergeser.

Padahal saat ini kampus perjuangan sedang mengalami sesuatu yang BARU. Sesuatu yang benar-benar BESAR. Sesuatu yang akan (saya yakin cukup) banyak mengubah dan bahkan membolak-balikkan tradisi.

Pergantian Rektor (dari Pak Priyo Suprobo kepada Pak Triyogi Yuwono) beserta sebagian besar jajaran petinggi kampus (Perangkat Rektorat, Dekan beserta kroni-kroninya, Ketua Jurusan hingga direktur/kepala/pimpinan dari unit-unit kerja di ITS). Perubahan Statuta ITS yang mengatur tata kerja birokrasi kampus. Hingga Musyawarah Besar ITS (MUBES) IV yang menjadi dasar tata kerja ormawa.

Ambil contoh, Wakil Rektor (WR, dulunya Pembantu Rektor). Meskipun sama-sama berjumlah empat orang pilihan, namun kini ranah kerja mereka terdapat beberapa perubahan drastis.

WR I (Pak Herman Sasongko, eks Kajur Teknik Mesin) menangani bidang akademis dan kemahasiswaan. WR II (Pak Faqih, Profesor dari Arsitektur) membantu di bidang keuangan dan perencanaan. WR III (Pak Nur, Guru Besar dari Statistik) bertanggungjawab terhadap SDM, sistem informasi, dan manajemen organisasi. WR IV (Pak Darminto, peniliti dan ahli fisika bahan dari Fisika ITS) dipercaya meng-handle bidang riset, inovasi, dan kerja sama. Belum lagi Dekan yang kini tidak lagi memiliki empat Pembantu Dekan.

Birokrasi kampus pasti akan berubah.

Struktural ormawa ITS juga mengalami pergolakan. Tidak hanya menyisakan Presiden BEM Fakultas terakhir di tahun lalu (karena tahun ini penyebutannya menjadi Ketua BEM Fakultas yang dipilih secara langsung), namun juga penambahan tugas. BEM Fakultas yang tadinya hanya berperan mengoordinasi fakultas, kini bertambah tugasnya menginstruksikan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dalam ranah sosial kemasyarakatan. Begitu pula BEM ITS yang mendapat peran instruktif-koordinatif dalam bidang sosial politik.

Dari perubahan-perubahan di atas, meskipun baru sedikit yang dipaparkan, kita tentu mampu memprediksikan secara jauh bahwa nanti, lebih tepatnya setahun ke depan, ormawa, pergerakan mahasiswa (di bidang apapun), dan iklim kampus akan mendapat tantangan baru dan benar-benar berbeda dari sebelumnya.

Maka, pertanyakan dalam diri Anda, ”Masihkah kita akan menggunakan cara-cara lama??”.
Atau, ”Masihkah mempertahankan budaya secara buta?”.

Jaman boleh dan pasti akan berubah. Kita dituntut untuk mengikutinya agar tidak mati tergerus dan dimakan jaman. Sedangkan budaya memang harus tetap kita pegang. Jika budaya tidak dipegang maka kita akan kehilangan identitas. Namun poin pentingnya adalah menjadi kreatif-inovatif dalam bergerak dan berkarya tanpa melupakan akar budaya.

Semua tentu menuntut kejayaan jaket biru ITS. 
Bahkan saya merindukan seluruh angkatan dapat turun bersama.
Tersenyum sama lebarnya. Cemberut sama manyunnya.
Tertawa sama gelaknya. Menangis sama sedunya.
Berdiri dan berprestasi sama tingginya.
Menyumbang pemikiran dan berkarya sama cerdasnya.
Meruntuhkan tembok batasan “beda angkatan”.

Tentu dengan mengobarkan semangat “Almamaterku...'kan kuturut bimbinganmu jadi pejuang yang tak 'kan pernah letih membangun Negeri....”

Bayangkan jika suatu jurusan bisa menjadi TELADAN gerakan integral satu jurusan (lintas angkatan) dan menginspirasi jurusan lain. Tentu segera tiba masa dimana gerakan mahasiswa bersama se-ITS dalam menjadi teladan menebar manfaat dan berkarya membangun bangsa.
Kalau sudah begini, teriakkan kepada kampus lain dengan jas almamater kita sembari lantang bersuara “BIRU BARU SERU”. . . !!!
(*)
Aris Pradana
Penulis adalah mahasiswa FTI yang ditodong mengisi pos Manager of Public Relation Pustaka Merah Putih. Kini ia sedang merambah dunia Tugas Akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar